Hutang dan Azab Kubur


Hendaklah kita tidak mudah terjebak dengan hutang. Kalau kita tidak membutuhkan barang itu kenapa harus berhutang untuk mendapatkannya? Didunia yang seba canggih ini memang tidak ada yang sulit untuk kita lakukan. Ada kartu kredit pinjaman tanpa anggunan dan sebagainya, yang apabila kita membutuhkannya hanya tinggal gesek saja. Maka barang yang kita inginkan pun didapatkannya. Tetapi, kita jarang sadar bahwa menggunakan kartu kredit sama saja dengan berhutang.

Memang berhutang dengan kartu kredit ada yang mengontrolnya, yaitu bank. Kalau kita lalai melunasinya, ada debt collector dari bank tersebut yang menagihnya. Sehingga kita dikondisikan untuk bisa melunasi hutang-hutang itu. Yang jadi masalah adalah apabila bila kita hutang pada orang lain yang kaitannya dengan institusi. Sebab kita kadang kali lupa untuk melunasi hutang-hutang tersebut untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Apalagi jika nilainya kecil seperti : Rp. 1000,- ; Rp.5000,- ; Rp. 10.000,- dst. Sementara orang yang menghutangi kita pun selalu segan untuk menagihnya, padahal hati kecilnya membutuhkan uang tersebut untuk keperluannya. Jika kita melakukan hal tersebut kepada beberapa orang betapa meruginya kita. Sebab satu hutang saja bisa menjadi satu masalah didalam kubur dan akhirat, apalagi kalau hutang kita pada beberapa orang.

Ada sebuah kisah dari Syayid Ali, seorang yang mulia. Dia adalah putra dari ulama besar, seorang faqih yang mulia dan teladan yaitu Al – Amir Sayyid Hasan bin Al – Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al – Amir Ismail Al – Isfahani ia berkisah sebagai berikut :
Setalah ayahku meniggal, aku tinggal di Masyad (Iran) untuk menuntut ilmu. Sampai sekarang aku banyak tahu tentang urusan ayahku secara detail. Yang lebih dulu tahu adalah saudara-saudaraku. Setelah 7 bulan ayahku wafat, ibuku menyusul ke alam baka. Jenazah ibuku dibawa dan dikuburkan di Najef (Irak). Tidak lama kemudian aku bermimpi seolah-olah aku duduk dirumahku. Ketika itu ayahku masuk, aku berdiri dan menguncapkan salam. Kemudian ia duduk didepanku dan menyapaku dengan lemah lembut, dan aku tau bahwa beliau telah meninggal.
Lalu aku bertanya : “Bukankah ayah telah meninggal di Isfahan?”
Ayah : “Ya, tapi mereka memindahkan aku ke Najef dan aku sekarang tinggal di Najef, dan sekarang aku tinggal disana
Aku : “Ibu didekat ayah?”
Ayah : “ Tidak”
Aku : “Ibu tinggal di Najef?”
Ayah : “Ya, tapi dia ditempat yang lain, aku baru tau bahwa tempat tinggal orang yang alim dengan tempat tinggal orang yang tidak alim”. Kemudian aku bertanya tentang keadaanya.
Ayah : “Dahulu kuburan ku kesempitan dan sekarang Alhamdulillah dalam keadaan yang lebih baik. Kesempitan dari himpitan itu menghilang dariku”. Aku heran atas kejadian itu.
Aku bertanya : “Ayah dalam kesempitan?”
Ayah menjawab : “Ya, karena Haji Ridha bin Abas Syahir menagihku, dan karena itu yang menyebabkan buruknya keadaanku”
Aku bertambah heran. Lalu aku terbangun dari tidurku dalm keadaan takut dan keheranan. Kemudian aku mengirim surat kepada saudaraku tentang wasiat ayahku dalam mimpi. Dalam suratku aku bertanya, “Apakah ayahku punya hutang kepada orang tersebut, atau tidak?” Ia membalas suratku. Dalam surat saudaraku mengatakan, “Aku sudah membuka buku harian ayah, tetapi aku tidak menemukan nama orang tersebut”. Lalu aku mengirim surat lagi untuk kedua kalinya, agar menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Lalu saudaraku menjawab suratku, “Setelah aku menanyakan kepada orang tersebut ternyata ayah benar pernah berhutang kepadanya”
Orang tersebut berkata “Ya, ayahmu punya hutang kepadaku sebesar 18 tuman (mata uang iran) dan tidak seorangpun tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya kepadamu apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu? Kamu menjawab tidak ada. Hatiku kecewa dan terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan uang kepadanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin dia tidak mencatat dalam buku hariannya. Saat itu aku pulang dengan hati yang sangat kecewa”. Kemudian saudaraku berkata kepadanya bahwa aku bermimpi hal itu dan aku akan membayar hutang ayahku. Kemudian orang tersebut berkata, “Karena berita dari saudaramu ini, sekarang hutangnya aku relakan dan aku iklaskan”

Kisah yang dikutip oleh An – Nuri dalam kitabnya yang berjudul “Dar As – Salam” itu menunjukkan kepada kita bahwa hutang itu ternyata sangat berpengaruh pada nasib kita kelak di alam kubur. Jika kita masih dalam kondisi berhutang lalu meniggal dunia, maka kelak kondisi kita akan dipersulit sebelum ada yang melunasinya atau orang yang menghutangi kita mengikhlaskannya. Tidak peduli kita orang sholeh atau tidak. Kasus diatas menunjukkan kepada kita bahwa orang sholeh pun akan mengalami hal yang sama, kurang nyaman dalam kuburnya karena hutang yang dilunasinya. Jadi kita jangan menganggap sepele hutang meski kecil sekalipun.

Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa roh orang yang meninggal dunia akan ditahan ditempatnya karena hutang yang belum dilunasinya. Hal ini diketahui berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW : “Ruh seorang mu’min tertahan karena hutangnya hingga ia lunasi” (HR. Ahmad dalam Al – Musnad At – Tarmidzi dan Ibnu Majah). Menurut Al – Irqi, maksud tertahan dalam hadits diatas adalah : “Tertahan pada tempatnya yang mulia”. Dikatakan olehnya “Urusan orang yang mulia yang berhutang itu diamankan tidak dapat dihukumi bahwa ia selamat atau binasa hingga dilihat apakah hutangnya yang menjadi tanggungannya dilunasi atau tidak”. Jadi hutang akan menimbulkan azab kubur hingga dilunasi.

Dalam 82 pertanyaan tentang alam kubur Mas’ad bin Al – Athawal berkisah bahwa saudaranya mewariskan 300 dirham serta meniggalkan keluarga yang menjadi taggungannya. Mas’ad berkata, “Saya hendak menginfakkan seluruh warisannya kepada keluarga yang ditinggalkannya”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya saudaramu tertahan karena hutangnya”. Maka saya melunasinya. Kemudian saya menghadap Rasulullah SAW, “Saya telah melunasinya kecuali 2 dinar yang di klaim oleh seorang wanita, namun dia tidak mempunyai bukti”. Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah kepadanya karena dia berhak” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Al – Baihaqi).

Kisah lain datang dari Samrah bin Jundab bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyalati seorang jenazah. Ketika pulang beliau bertanya, “Apakah disini ada anggota keluarga si Fulan?”. Kaum yang ditanya diam saja. Dan begitulah kebiasaan mereka. Jika didahului dengan pertanyaan mereka hanya diam saja. Maka Nabi melontarkan sampai 3 kali dan tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Kemudian seorang laki-laki berkata, “Ada, itulah orangnya”. Berdirilah seorang laki-laki menyeret kainnya dari barisan paling belakang. Nabi berkata kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk tidak menjawab pertanyaanku yang pertama dan yang kedua? Sedang aku tidak memanggil nama kalian kecuali demi kebaikan. Sesungguhnya si Fulan (kepada laki-laki) dan mereka tertahan oleh hutangnya (dari surga). Terserah kalian apakah akan melunasinya atau membiarkannya dalam azab kubur. Andai saja ada anggota keluarganya atau orang lain yang peduli membayarkan hutangnya, hingga tidak ada seorang pun yang menuntunya “ (HR. Abu Daud, An - Nasa’i, Al – Baihaqi dan Al – Hakim).

Bagitu vitalnya masalah hutang ini hingga jihadnya seorang hamba di jalan Allah SWT (mati sayhid) pun tidak bisa menghapusnya, Abdullah bin Amer meriwayatkan sabda Nabi, “Terbunuh di jalan Allah menghapuskan segala dosa kecuali HUTANG” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, An – Nasa’i, At –Turmidzi, Malik dan Darimi). Bayangkan seorang syahid tidak lantas masuk surga, jika ia masih memiliki hutang. Selama hutang belum dibayar, keadaanya digantung di akhirat nanti. Apakah ia masuk surga atau neraka. Setelah dipastikan hutangnya dibayar ia baru divonis oleh Allah untuk masuk surga. Jadi, betapa pentingnya nilai sebuah hutang ini, meskipun sangat kecil nilainya. SEKALI LAGI JANGAN MEREMEHKAN HUTANG!!

Pertanyaanya, Bagaimana keluarga yang ditinggalkan tidak mampu melunasi hutang-hutangnya, apa yang mereka lakukan? Ada 2 jalan untuk masalah ini.
Pertama, Salah seorang muslim dapat memberi bantuan, hal ini dibolehkan dalam sebuah hadist Jabir bin Abdullah berkata :
Seorang laki-laki meninggal dunia, maka kami memandikannya, mengafaninya, dan membubhkan minyak wangi lalu meletakkannya dihadapan Rasulullah untuk menyalatkannya, Beliau pun datang lalu bertanya, “Barangkali saudaramu masih mempunyai hutang”. Mereka menjawab, “Ya, 2 dinar”. Maka Rasulullah mundur dan berkata, “Shalatlah kalian atas saudara kalian”. Kemudian seorang laki-laki dari kami bernama Abu Qatadah berkata kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, hutangnya menjadi tanggunganku”. Mendengar demikian Rasulullah berkata, “Hutang itu menjadi tanggunganmu dan hartamu, dan mayat terbebas dari kedua dinar tersebut”. Qatadah pun shalat untuk jenazah tadi. Ketika Rasulullah bertamu Qatadah Beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan terhadap 2 dinar (hutang si mayat)?”. Dia menjawab, “Sudah saya lunasi”. Beliau pun berkata, “Sekarang saatnya kulitnya menjadi dingin” (HR. Al – Baihaqi, Ath – Thayalisi Ahmed, dalam Musnad, Al – Haisami, Jakim dan Al – Mustadrak).
Dari kisah diatas, bahwa seorang yang beragama islam bisa menggantikan hutang orang lain yang seagama. Orang tersebut akan mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT.

Kedua, Negara berkewajiban melunasinya. Syeikh Al – Bani berkata : “Hendaklah sebagian diantara mereka melunasi hutangnya dari hartanya, walau dia harus menyerahkan seluruh hartanya. Jika dia tidak mempunyai harta benda, Negara berkewajiban untuk melunasinya, walaupun dirasakan kesulitan dalam melunasinya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka hendaklah sebagian dari mereka berlaku suka rela menjadi penjaminnya”.

Jadi, jika ada diantara rakyat yang masih mempunyai hutang pada orang lain sementara ia sudah meninggal dunia, maka Negara berhak untuk turut campur. Negara berhak melunasi hutang-hutangnya, kecuali sang Piutang (orang yang menghutangi) mengikhlaskannya.

Komentar

Posting Komentar

Sekian Tutorial dari saya semoga dapat membantu. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam Tutorial saya. Terima kasih atas kunjungannya. Jika anda berkenan berilah komentar pada Tutorial ini. Terima Kasih Sebelumnya.
Hormat saya Destia Salma